Aku terdiam dan merenung. Pikiranku melayang ke rumah...
Suamiku tidak ganteng, bukan orang yang kaya secara materi, berkacamata tebal dan rupanya sangat biasa. Walaupun tidak tampan, untunglah dia juga tidak buruk sekali. Namun tetap kelihatan kurang cocok dengan diriku. Jika berjalan denganku, kerap kali orang memandang kami berdua dengan mimik wajah keheranan. Mungkin dalam pemikiran mereka, kok bisa ada pria sejelek ini mendapatkan pendamping yang begitu cantik dan sexy.
Suamiku memiliki kekurangan dari segi fisik. Matanya sudah setengah buta. Hanya dengan menggunakan kacamata "pantat botol" yang tebalnya bukan kepalang, barulah dia dapat melihat dengan jelas.
Aku baru menyadarinya saat tinggal serumah dengannya. Sebelum menikah, dia selalu menggunakan contact lens, sehingga penampilannya seperti manusia biasa. Seandainya pada saat pdkt, dia menggunakan kacamata super tebal yang membuat matanya kelihatan sangat sipit, mungkin aku sudah menjauhinya.
Saat ini, aku menerimanya dengan tulus. Buah kasih kami, seorang puteri cantik, menghiasi kehidupan yang telah kami bina selama empat tahun lebih.
Aku sadar, saat itu... aku telah memilihnya dengan penuh keikhlasan, walaupun sempat mendapat halangan dari keluargaku. Bukan dia yang memaksaku. Saat itu aku benar-benar mencintainya, dan hingga kini. Tuhan telah menyemaikan rasa cinta itu saat malam pertama diriku bersamanya.
Jujur saja, dimataku, dia tetap tidak ganteng, namun aku nyaman bila melihat senyumnya. Dia selalu menerima diriku apa adanya.
Suatu ketika, saat diriku tidak sengaja membuatnya menunggu sangat lama di suatu tempat, saat diriku menghabiskan uang begitu banyak untuk sesuatu hal yang tidak penting dan saat diriku membiarkan dirinya berdua bersama si kecil selama berhari-hari, dia tidak pernah marah. Hanya diam dan tetap menjalankan kewajibannya seperti biasa.
Suamiku bukanlah sosok yang rupawan, namun aku selalu mengingat sebuah petuah orang-orang tua, yang mengatakan : "Jangan melihat sesuatu dari rupanya. Batubara yang hitam dan dapat mengotori tubuh saja, dicari dan diburu oleh banyak orang".
Suamiku mungkin bukan emas, apalagi intan permata yang indah berkilauan, namun keberadaannya selalu menghangatkan hidupku.
Di saat aku lelah, dia begitu pengertian, membiarkan diriku terlelap. Dia akan selalu berjaga sepanjang malam menemani si kecil yang sedang rewel.
Bukan sesuatu yang biasa bagi seorang laki-laki, mampu dan mau menyuapi, menyusui, memandiin, mengganti popok, mengganti baju dan bahkan mengikatkan pita ke rambut si kecil, namun dia begitu ikhlas dan tanpa pernah mengeluh menjalani tugas yang seharusnya menjadi urusan kaum hawa.
Suamiku tidak tampan, dan untunglah bukanlah idola kaum hawa. Suamiku bukan sosok pria yang dengan gampangnya melakukan "tebar pesona" untuk menggoda hati wanita lain.
Bayangkan bila suamiku sangat tampan, mungkin aku tidak akan tenang dan selalu dihantui oleh perasaan cemburu, membayangkan dia bakal dilirik dan digoda oleh para wanita iseng, membayangkan dia disuit-suit oleh gadis muda yang ganjen (genit) karena dianggap sebagai om senang, membayangkan rambutnya dikeramas dan dipijit di salon oleh penyuka sesama jenis, membayangkan dia sms-an dengan mantan pacar-pacarnya dulu, dan membayangkan entah kapan dia akan merasa bosan kepada diriku.
Arrgghhh...
Aku bersyukur suami tidak ganteng sehingga aku bisa tidur nyenyak walaupun dikerubuti oleh nyamuk-nyamuk nakal. Suamiku tidak ganteng namun dia adalah suami terbaik untukku.
Aku merasa nyaman, aman, terlindungi dan betah berlama-lama tidur di dadanya yang empuk atau di atas perutnya yang bulat kayak gentong.
sumber: KEBAJIKAN ( De 德 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar