Di depan Kampus Universitas Trisakti itu, mereka berteriak “Reformasi!” Mereka menuntut Soeharto, penguasa di Istana Negara selama 32 tahun untuk mundur. Dan “Dor!” bunyi senapan dari aparat membuat mahasiswa kocar-kacir. Ada yang jatuh ke aspal, ada pula yang berlari tunggang-langgang. Tapi aparat terus menembaki dari luar kampus. Gas air mata juga ditembakkan memenuhi kampus Trisakti. Insiden penembakan itu kemudian dikenal dengan Tragedi Trisakti. Itu baru permulaan dari kerusuhan yang lebih besar dan luas, tidak hanya Ibukota, tapi juga di provinsi lain.
2 Mei
Kerusuhan tidak berawal di Jakarta, melainkan di Medan, Sumatera Utara. Saat itu, terjadi demontrasi mahasiswa di beberapa titik di Kota Medan. Demonstrasi yang berujung bentrokan tersebut berlanjut hingga 8 Mei. Tak hanya mahasiswa, massa lain juga terlibat dalam demonstrasi ini. Mereka membakar dan meneriakan sentimen negatif terhadap polisi. Situasi pada saat itu tak bisa dikendalikan.
12 Mei
Setelah beberapa kerusuhan di daerah, barulah Ibukota mulai panas. Mahasiswa berkumpul dan mulai merapatkan barisan. Mereka menggelar aksi damai di pelataran parkir depan Gedung M (Gedung Syarif Thayeb) di Kampus Universitas Trisakti. Lalu mereka menggelar mimbar bebas tepat di atas jalan layang. Diperkirakan sekitar 6000 orang hadir.
Di tengah hari, massa mulai panas, karena sejumlah aparat kemananan mulai berdatangan di lokasi mimbar. Aksi pun dilanjutkan dengan long march ke jalan, setelah itu mereka menuju gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tapi aksi damai terhalang aparat. Mereka lalu berdemonstrasi di Gedung Walikota Jakarta Barat. Setelah berkali-kali dihalangi aparat, mahasiswa kembali ke kampus dan melanjutkan orasi di sana.
Lalu aparat mulai mengeluarkan amunisinya. Mulai dari gas air mata sampai peluru. Aparat membentuk formasi tembak dan mulai memberondong barisan mahasiwa dengan peluru yang menembus ke kepala, tenggorokan, dan dada mereka. Mahasiswa yang tewas di tempat adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
13 Mei
Dengan peristiwa tewasnya 4 mahasiswa Trisakti itu ternyata menimbulkan reaksi yang lebih luas dari insiden Medan sebelumnya. Situasi makin genting karena kerusuhan makin meluas. Sementara itu, terjadi penjarahan di Jakarta. Massa membakar rumah dan toko yang sebagian besar dimiliki etnis Tionghoa. Media asing memberitakan terjadi pemerkosaan terhadap anak-anak gadis Tionghoa. Kisah ini tak pernah terungkap dengan jelas karena korban bungkam hingga hari ini.
Data yang belum terverifikasi dari AsiaWeek menyebut setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak. Situasi makin tak jelas karena sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) tak berada di Jakarta saat kerusuhan terjadi. Mereka berkumpul di Malang untuk menghadiri upacara pemindahan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi I ke Divisi II Kostrad.
Acara ini dihadiri oleh Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto, Danjen Kopassus Muchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya. Akibat kekosongan di Jakarta, timbul pertanyaan di masyarakat, kemana aparat keamanan militer pada waktu kerusuhan itu?
14 Mei
Pada 14 Mei 1998 inilah nama Prabowo muncul ke permukaan. Beliau, pada saat itu disebut sebagai pihak yang merancang kerusuhan. Ia juga diberitakan menggelar pertemuan rahasia di Markas Kostrad. Berdasar laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pertemuan rahasia di Makostrad terjadi selepas maghrib hari itu dihadiri oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, dan Bambang Widjojanto. Prabowo disebut menyampaikan informasi mengenai situasi terakhir. Tapi pertemuan itu dibantah oleh Prabowo sendiri.
15-19 Mei
Jakarta masih mencekam. Pukul 4.40 pada 15 Mei, Soeharto tiba dari rangkaian kunjungan ke Kairo, Mesir, dan mendarat di landasan militer Halim Perdana Kusuma. Ia dikawal 100 kendaraan bersenjata menuju kediamannya di Jalan Cendana. Soeharto segera mendengar rencana aksi massa sejuta orang yang akan digelar pada 20 Mei.
Wiranto sebagai panglima tertinggi ABRI menyatakan dukungan penuhnya pada Soeharto. Wiranto menyarankan Soeharto untuk membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi. Sementara itu, tekad mahasiswa makin bulat. Soeharto harus mundur. Mereka bukan hanya merencanakan aksi sejuta massa, tapi juga pendudukan gedung MPR.
20 Mei
Kawasan Monumen Nasional Jakarta penuh dengan tank. Ratusan tentara bersenjata senapan laras panjang dan tank ringan serta personel artileri melakukan patroli di Ibukota. Istana dijaga ketat. Demonstrasi sejuta orang pun dibatalkan. Pada sore itu, Wiranto memberi usulan dan opsi pada Soeharto. Pertama, dia tetap ingin menjabat sebagai panglima ABRI, Habibie harus komitmen terhadap reformasi, dan Prabowo harus diganti.
21 Mei
Sumber : Rappler.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar