Seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017. DJP dapat mengintip data nasabah yang berada di luar negeri dengan saldo minimal USD250 ribu atau Rp3,35 miliar.
"Dari sisi peraturan internasional batas saldo yang wajib dilaporkan adalah sebesar USD250 ribu," ungkap Sri dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis 18 Mei 2017.
Menurut beliau, jumlah tersebut setara dengan prosedur dan ketentuan internasional. Ketentuan ini juga berlaku bagi negara-negara yang menerapkan AEol sehingga data setiap nasabah bank dapat diakses oleh otoritas pajak di masing-masing negara.
"Kalau di atas itu, maka subyek akses informasi dilakukan seluruh dunia, dan karena kita masuk, maka kita gunakan aturan itu. Jadi saya tekankan karena ini AEoI maka compliance kita harus setara dengan negara lain," tegasnya lagi.
Kendati demikian, Sri Mulyani meminta masyarakat untuk tidak khawatir dengan penyalahgunaan Perppu AEol. Sebab pihaknya telah menyiapkan peraturan setingkat undang-undang atau Peraturan Menteri Keuangan yang secara jelas mengatur tata kelola dan akses informasi oleh DJP. PMK tersebut menjadi salah satu syarat agar skema pertukaran informasi itu dapat diterapkan pada September 2018.
"Seluruh jajaran DJP yang memiliki akses informasi tersebut akan menjadi subjek dari disiplin internasional sesuai perundangan. sistem informasi atau pertukaran informasi yang kita dapatkan hrus mengikuti protokol internasional. Masih digodok nanti 30 Juni 2017," tuturnya.
AEoI merupakan ketentuan global yang memungkinkan Indonesia bisa mengakses data perbankan warga negaranya di luar negeri, dan sebagai timbal baliknya, negara lain juga bisa membuka data perbankan warga negaranya di Indonesia. Berdasarkan kesepakatan 101 negara, AEoI sudah harus berlaku pada 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar